Pandangan Agustinus
Tentang Dua Kerajaan
Pendahuluan
Dalam ajarannya, Agustinus
menggunakan istilah kota Allah (gereja) dengan kota Dunia (negara). Hubungan
Gereja dengan Negara merupakan suatu topik yang aktual di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Gereja dan Negara merupakan dua lembaga yang sama-sama
berasal dari Allah, dan keduanya berada di dunia ini sebagai alat yang
digunakan Allah untuk melaksanakan keadilan, ketertiban, serta kesejahteraan
umat Allah di dunia ini.
Sehubungan dengan itu, dalam tulisan ini kita membahas tentang Pandangan
Agustinus tentang Dua Kerajaan (Gereja dan Negara). Dengan harapan Gereja dan
Negara memiliki kerjasama di dunia ini untuk mencari serta menciptakan
kesejahteraan dan kedamaian.
Untuk memahami
lebih dalam apa yang menjadi pokok pemikiran Agustinus tentang Dua Kerajaan , maka penyaji mencantumkan
sistematika penulisan sebagai berikut:
I. Pendahuluan
II. Sekilas Tentang Agustinus
A. Sejarah Hidup Agustinus
B. Situasi Kehidupan Pada Saat Itu
III. Pokok-pokok Pikiran
Tentang Dua Kerajaan
IV.
Implikasi Etis Pandangan Agustinus Tentang Dua Kerajaan
V. Kesimpulan
VI. Kepustakaan
II. Sekilas Tentang Agustinus
Sejarah Hidupnya
Agustinus lahir di Tagas,
Afrika Utara, pada tanggal 13 November 354. Ayahnya bernama Patricius, seorang
kafir dan ibunya S.Monika adalah seorang ibu yang saleh dan penuh kasih. Ia
memulai karir pendidikannya di kota kelahirannya di Tagas, dan kemudian belajar
retorika dan filsafat di katargo, namun ia lebih memusatkan diri pada filsafat.
Sebagai anggota Katekumen Katolik (calon Baptisan), Agustinus pastilah menolak
untuk menerima Sakramen Baptisan. Sebab bagi orang yang sudah biasa dengan
filsafat (apa lagi filsafat Yunani), pastilah menilai Perjanjian Lama tidak
rohaniah. Dan pada akhirnya Agustinus
mengalami pergumulan yang hebat, yaitu keinginannya untuk mencarikebenarannya
yang sejati dan mampu memberikannnya suatu kedamaian hidup[1].
Pada tahun 382 Agustinus
berangkat ke Roma. Disana ia membuka sekolah retorika, namun tidak lama
kemudian sekolah itu dipindahkan ke Milano. Di Milano Agustinus tertarik pada
seorang Uskup yang sangat cakap dalam berkhotbah, yaitu Uskup Ambrosius.
Agustinus ingin sekali berkenalan dengan Uskup itu dan ia juga sering masuk ke
gereja hanya untuk mendengarkan khotbah-khotbahnya. Dari khotbah-khotbah itu
Agustinus ingin melihat keindahan dalam kitab suci.
Pada tahun 386 Agustinus
sedang duduk dalam taman di rumahnya. Tiba-tiba ia mendengar suara anak kecil
yang sedang bermain di taman mengatakan “ambillah dan bacalan”. Suara
hatinya mengatakan bahwa yang disuruh ambil dan bacalah adalah Alkitab. Ia
mengambil dan membukanya. Agustinus membaca Roma 13 :13-14, “Marilah kita hidup
dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan,
jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai
perlengkapan senjata terang dan janganlan merawat tubuhmu untuk memuaskan
keinginannya”. Agustinus yakin bahwa itulah suara Roh Kudus sehingga ia
mengalami pertobatan. Ibunya sangat gembira dengan pertobatan anaknya itu. Dan
Agustinus dibabtis oleh Uskup Ambrosius[2].
Sesudah pertobatan dan
pembabtisannya, Agustinus memutuskan hubungannya dengan dunia. Harta miliknya
dijualnya dan dibagi-bagikannya kepada orang-orang miskin. Ia ingin melayani
Kristus sampai dengan ajalnya. Kemudia Agustinus bersama-sama anak dan ibunya
bersiap-siap untuk kembali ke Afrika. Namun sangat disayangkan, ibunya
meninggal dunia di kota pelabuhan,Ostia. Sementara menunggu kapal yang akan
membawa mereka ke negrinya, Agustinus menguburkan ibu yang dikasihinya di
Ostia. Sesuai dengan permintaan ibunya menjelang kematiannya, “Kuburkanlah
aku dimana saja dan janganlah dirimu susah karenanya, hanya satu perkara aku
mohon, yaitu doakanlah aku di Altar Allah di mana pun aku berada.[3]” Agustinus
bersama Adeodatus dan kedua temannya berangkat ke Tagaste.
Pada tahun 391 Agustinus
berkunjung ke Hippo Regius. Umat di Hippo Regius meminta agar Agustinus
dithabiskan menjadi presbiter untuk membantu Uskup Valerius yang sulit
berkhotbah dalam bahasa Latin. Tahun 396 Uskup Valerius meninggal dan Agustinus
dithabiskan sebagai Uskup Hipoo Regius pengganti Valerius. Cita-cita untuk
hidup dengan damai dalam biara terpaksa ditinggalkannya. Ia menjadi Uskup Hippo
Regius sampai dengan meninggalnya pada 28 Agustus 430, ketika suku bangsa
Vandal mengepung kota Hippo Regius.
Situasi Kehidupan Pada Saat Itu
Lahirnya pandangan tentang
dua Kerajaan tidak terlepas dari sejarah kerajaan romawi. Semuanya berawal dari
penyerbuan kota Roma oleh orang-orang Goth pada tahun 410. Pada awalnya penguasa
romawi telah melihat adanya acaman dari
pihak orang-orang Goth mulai dari abad ke dua. Namun demikian, orang-orang Goth
masih diizinkan untuk tinggal di wilayah kekaisaran Romawi. Bahkan sebahagian
dari mereka telah diangkat sebagai tentara Kerajaan Romawi dan dan juga ada
yang menempati kedudukan tertinggi yang ada dalam pemerintahan dan kerajaan.
Pada tahun 378 orang-orang Goth mulai melakukan perlawanan terhadap
Romawi, dan orang-orang Goth yang tinggal di pinggir kota Romawi dan
orang-orang yang duduk dalam kekaisaran Romawi langsung bergabung dengan orang
Goth lainnya dan menyerbu kota Roma. Dan kota Roma yang pada waktu itu berusia
800 tahun, berhasil direbut. Kejadian itu dianggap oleh orang Kristen sebagai
akhir dari dunia ini[4].
Setelah kejatuhan kota Roma, banyak penduduk secara berduyun-duyun
mengungsi kearah selatan, yakni dengan melalui daerah Italia dan Sicilia,
menyebrangi laut utara sampai ke daerah Afrika Utara. Pada saat itu
Vollusianus, yang menjabat sebagai gubernur muda di propinsi itu sedang meminta
Katekisasi Baptisan dari gereja. sehubungan dengan situasi yang sedang terjadi
pada saat itu, dia mengajukan beberapa pertanyaan. Pertanyaannya yang pertama
yaitu: apakah benar adanya bagi orang Kristen untuk memberikan pipi yang lain,
sedangkan pipinya yang satu lagi sudah di tampar orang lain(Matius 5:39)jika
mereka bertanggung jawab atas keselamatan dan kedamaian dari propinsi yang
dipimpinnya? Pertanyaan yang kedua, yaitu mengenai pemeliharaan Allah: mengapa
Allah membiarkan hal itu terjadi bagi sebuah kota yang penduduknya sudah orang
Kristen dan sudah dipimpin oleh orang Kristen?[5]
Dalam menjawab pertanyaan Vollusianu, Agustinus selaku Uskup Hippo
menulis surat yang panjang. Surat itu kemudian menjadi ringkasan sebuah buku
yang berjudul “De Civitate Dei”
1991 Pokok-pokok Pikiran Tentang Dua Kerajaan
Dalam ajannya,
Agustinus menggunakan istilah kota Allah (gereja) dengan kota Dunia (negara).
Namun ia tidak memisahkan keduanya bahwa dunia ini disatu pihak adalah jahat,
dan gereja ada pada pihak yang baik. Ia mengatakan bahwa dunia mempunyai
kebaikan sendiri, seperti hal memelihara kedamaian dan mengusahakan kemakmuran
masyarakat.
Dipihak
lain, gereja juga masih berada dalam
dunia ini, yang tidak dapat dikatakan bersih dari kejahatan.. Dua kota besar
ini harus dibahas dalam hubungan dengan satu sama lain, sebab dia yang saat ini
adalah dunia fana, warganegara dari kota Tuhan adalah juga warga negara dunia
ini, dan sebagian dari warganegara dari
kota dunia ini adalah kepunyaan kota Tuhan juga[6].
Karena dengan mengutip perkataan Yesus “lalang masih berada di tengah-tengah
gandum. Mat 13:25”. Karena menurut Agustinus, sepanjang usaha yang masih
bersifat baik (memelihara keadilan dan perdamaian dunia), sebab tidak ada
manusia yang tidak menginginkan kegembiraan. Maka tidak ada orang yang tidak
menginginkan damai. Damai tidak hanya mengacu kepada damai yang tidak mengenal
suatu batas umum. Semua komponen masyarakat, pemerintahan, adalah keluarga kota
besar yang diarahkan pada suatu akhir umum, pengamanan dan memelihara damai.
Oleh sebab itu, gereja harus mendukung negara, dengan cara memelihara
dan mentaati hukum-hukumnya dan bekerja sama dalam pelayanan sosial. Tetapi
dalam pelanggaran-pelanggaran yang melanggar kehendak Allah oleh penguasa dunia
atau negara, seperti perlakuan kejam, ketidak-adilan dan kekerasan lainnya,
gereja harus mengatakan “tidak” kepada penguasa dunia[7].
Kota-kota itu bukanlah dua negara yang bersaing, bukan pula
dua organisasi, melainkan dua kelompok manusia. Mereka berbeda karena cinta
yang berbeda: dua kota telah terbentuk atas dua cinta, kota duniawi akan cinta
akan berdiri sendiri yang menuju pada penghinaan terhadap Allah, dan kota
sorgawi yang dibentuk oleh kasih akan Allah yang menuju pada kepengabaian diri.
Yang pertama mengagungkan diri, yang kedua mengagungkan Tuhan. Dikota yang satu
para penguasa-penguasa yang ditaklukan didasari akan cinta dan kekuasaan. Di
kota lain para penguasa dengan rakyatnya saling mengasihi, yakni rakyatnya
mentaati dan para penguasa memelihara semua. Kedua kota ini adalah panguyuban
manusia, yang satu ditakdirkan memerintah bersama Allah kekal selamanya, dan
yang satunya lagi menderita bersama iblis selama-lamanya. Warga kota lahir
dalam kota duniawi oleh alam yang sudah rusak oleh dosa, namun mereka lahir
kedalam kota surgawi oleh kasih karunia yang memebebaskan alam dari dosa”[8].
Agustinus
telah mengusulkan dalam keseluruhan isi buku keduanya kota besar mempunyai
akhir yang berbeda. Oleh karena itu ia mengutip ayat Alkitab yang berbicara tentang
akhir dari kota besar Tuhan yaitu hidup kekal "Tetapi setelah kamu
dimemerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh
buah yang membawa kamu pada kekudusan dan pada kesudahannya ialah hidup yang
kekal” (Rom. 6:22). Agustinus merumusan akhir bahwa tentang kota besar Tuhan
dapat disebut " Damai dalam hidup kekal" atau " hidup kekal
secara damai[9].
IV. Implikasi Etis Pandangan Agustinus Tentang
Dua Kerajaan
Secara teologis dapat dilihat bahwa Allah mengikut sertakan manusia untuk
mempertahannkan keadilannya, dimana negara diberi kuasa untuk melindungi hidup
manusia dan mencegah perbuatan jahat (Kej 9:5-6). Dalam Mazmur 75 juga terlihat
bahwa kekuasaan dan kewibawaan pemerintah tidak diperoleh dengan sendirinya
saja, tetapi diberikan oleh Allah.
Dengan demikian pemerintah harus bertanggungjawab kepada Allah yang
memberikan kekuasaan kepadanya. Dalam Roma 13:1, mengatakan bahwa tidak ada
pemerintah yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yang ada
ditetapkan oleh Allah (bnd. Yoh 19:11). Dengan demikian jelas bahwa kekuasaan
yang ada pada pemerintah berasal dari Allah[10].
Gereja sebagai tubuh Kristus merupakan persekutuan orang percaya yang
mengaku Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia. Dalam melaksanakan tugasnya
Gereja berlandaskan dan berpusat pada Kristus. Kristus sebagai Kepala Gereja
yang adalah tubuh-Nya sendiri, dipanggil untuk hidup, melayani dan bersaksi
ditengah-tengah masyarakat dunia ini (Yoh 15:16). Gereja diberi mandat untuk
menjadi garam dan terang (Mat 5:13-14). Gereja sebagai sebagai persekutuan
orang-orang percaya, berada di tengah-tengah kegelapan (1 Ptr 2:9).
Gereja dan Negara adalah merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh
Allah. Dengan demikian keduanya harus tunduk kepada Allah. Gereja dan Negara
menerima tugas dan panggilan dari Allah dan berfungsi di tengah-tengah
masyarakat di dunia ini[11].
Menurut Karl Barth, Gereja dan Negara sama-sama berlandaskan “Kerajaan
Kristus”, dimana negara juga diartikan sebagai
bahagian dari “tata anugerah”. Negara dan Gereja dilukiskan sebagai dua
lingkungan yang konsentris, dan injil adalah sebagai pusat satu-satunya[12].
Dari pengertian di atas nyatalah bahwa Gereja dan Negara diciptakan Allah
untuk memenuhi keinginan-Nya, dan keduanya harus tunduk kepada Allah dalam
melaksanakan tugas dan panggilannya masing-masing.
Dalam rangka pemerintahan
Allah akan dunia ini, maka Gereja dan Negara harus mempunyai rancangan demi
kemuliaan Allah, dimana Gereja harus mengatur kegiatan ritus keagamaan, dan
negara mengurus masalah politik. Gereja membawa orang-orang untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah dan merubah manusia menjadi manusia baru. Negara
merupakan lembaga yang sering mengalami problem untuk mempertahankan identitas
yang tidak pernah kekal.
Kesimpulan
Masalah hubungan Gereja dan Negara, bukanlah suatu hal yang mudah
dipecahkan, sebab tidak ada jalan keluar yang mudah untuk keluar dari dilema
yang ada didalamnya. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bahwa pelayan
Gereja dan Pemerintah merupakan sama-sama hamba Allah di dunia (lih. Mat 22:21;
Rom 13). Oleh sebab itu Gereja dan Negara harus hidup saling berdampingan,
saling menolong dan melengkapi.
Gereja dan Negara mempunyai persamaan dimana keduanya menerima tugas dan
panggilan dari Allah serta berfungsi ditengah-tengah kehidupan manusia. Gereja
harus memberikan partisipasinya dalam menjalankan pembangunan demi keutuhan
Bangsa dan Negara dimana pemerintah harus menjamin kebebasan bagi gereja dalam
melaksanakan tugas panggilannya di dunia ini.
Kepustakaan
Becker, Dieter
1992
Pedoman Dogmatika, (Jakarta:BPK-GM, 1991).
Bosch,
David J.
1999 Transformasi
Misi Kristen, (Jakarta: BPK-GM).
End, Th.
Van den
1995 Harta
Dalam Bejana, (Jakarta: BPK-GM).
Hauken,
Allah
1991 Ensiklopedi Gereja, jilid I,
(Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka).
Ladd,
George Eldon
1999 Teologi Perjanjian Baru,
jilid. I, (Yayasan Kalam Hidup: Bandung).
Lane, Tony
1996 Runtut Pijar “Sejarah
Pemikiran Kristiani”, (Jakarta: BPK-GM).
Sizoo, A
1975 Agustinus Hidupnya dan Karyanya,
jilid I (Jakarta: BPK-GM).
Verkuly, J.
1992 Etika Kristen; Ras, Bangsa,
Gereja dan Negara, (Jakarta: BPK-GM, 1992).
Wellem, F.D.
2003 Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM),
Wilken,
Robert L
1997 The Two Cities Of God, Grand
Rapitds, Michigan, Cambridge, U.K, 1997.
[1] F.D. Wellem, MTh, Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK-GM, 2003. hlm. 23
[2] A.
Hauken, Ensiklopedi Gereja, jilid I, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka), 1991, hlm. 62
[3] Dr. A.
Sizoo, Agustinus Hidupnya dan Karyanya, jilid I (Jakarta: BPK-GM), 1975,
hlm. 93
[4] Tony
Lane, Runtut Pijar “Sejarah Pemikiran Kristiani”, (Jakarta:
BPK-GM), 1996, hlm. 39
[5] Th. Van
den End, Harta Dalam Bejana, Jakarta, BPK-GM, 1995, hlm. 82
[6] Robert
L. Wilken, The Two Cities Of God, Grand Rapitds, Michigan, Cambridge,
U.K, 1997, hlm. 28
[7]
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen,
(Jakarta: BPK-GM), 1999, hlm. 343
[8]
Robert L. Wilken, Op. Cit, hlm. 33
[9] Robert
L. Wilken, Op. Cit, hlm.40-41.
[10] George
Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru, jilid. I, Yayasan Kalam Hidup,
Bandung, 1999, hlm. 147
[11] J.
Verkuly, Etika Kristen; Ras, Bangsa, Gereja dan Negara, (Jakarta:
BPK-GM, 1992), hlm. 238.
[12] Dieter
Becker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta:BPK-GM, 1991), hlm. 180