Kamis, 31 Januari 2013

Seminar Pengajaran


Pandangan Agustinus

Tentang Dua Kerajaan

Pendahuluan

Dalam ajarannya, Agustinus menggunakan istilah kota Allah (gereja) dengan kota Dunia (negara). Hubungan Gereja dengan Negara merupakan suatu topik yang aktual di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Gereja dan Negara merupakan dua lembaga yang sama-sama berasal dari Allah, dan keduanya berada di dunia ini sebagai alat yang digunakan Allah untuk melaksanakan keadilan, ketertiban, serta kesejahteraan umat Allah di dunia ini.
Sehubungan dengan itu, dalam tulisan ini kita membahas tentang Pandangan Agustinus tentang Dua Kerajaan (Gereja dan Negara). Dengan harapan Gereja dan Negara memiliki kerjasama di dunia ini untuk mencari serta menciptakan kesejahteraan dan kedamaian.
      Untuk memahami lebih dalam apa yang menjadi pokok pemikiran Agustinus  tentang Dua Kerajaan , maka penyaji mencantumkan sistematika penulisan sebagai berikut:
I.    Pendahuluan
II.  Sekilas Tentang Agustinus
A. Sejarah Hidup Agustinus
B. Situasi Kehidupan Pada Saat Itu
III. Pokok-pokok Pikiran Tentang Dua Kerajaan
IV. Implikasi Etis Pandangan Agustinus Tentang Dua Kerajaan
 V. Kesimpulan
VI. Kepustakaan
II.  Sekilas Tentang Agustinus

Sejarah Hidupnya

Agustinus lahir di Tagas, Afrika Utara, pada tanggal 13 November 354. Ayahnya bernama Patricius, seorang kafir dan ibunya S.Monika adalah seorang ibu yang saleh dan penuh kasih. Ia memulai karir pendidikannya di kota kelahirannya di Tagas, dan kemudian belajar retorika dan filsafat di katargo, namun ia lebih memusatkan diri pada filsafat. Sebagai anggota Katekumen Katolik (calon Baptisan), Agustinus pastilah menolak untuk menerima Sakramen Baptisan. Sebab bagi orang yang sudah biasa dengan filsafat (apa lagi filsafat Yunani), pastilah menilai Perjanjian Lama tidak rohaniah. Dan  pada akhirnya Agustinus mengalami pergumulan yang hebat, yaitu keinginannya untuk mencarikebenarannya yang sejati dan mampu memberikannnya suatu kedamaian hidup[1].
Pada tahun 382 Agustinus berangkat ke Roma. Disana ia membuka sekolah retorika, namun tidak lama kemudian sekolah itu dipindahkan ke Milano. Di Milano Agustinus tertarik pada seorang Uskup yang sangat cakap dalam berkhotbah, yaitu Uskup Ambrosius. Agustinus ingin sekali berkenalan dengan Uskup itu dan ia juga sering masuk ke gereja hanya untuk mendengarkan khotbah-khotbahnya. Dari khotbah-khotbah itu Agustinus ingin melihat keindahan dalam kitab suci.
Pada tahun 386 Agustinus sedang duduk dalam taman di rumahnya. Tiba-tiba ia mendengar suara anak kecil yang sedang bermain di taman mengatakan “ambillah dan bacalan”. Suara hatinya mengatakan bahwa yang disuruh ambil dan bacalah adalah Alkitab. Ia mengambil dan membukanya. Agustinus membaca Roma 13 :13-14, “Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati.  Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlan merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya”. Agustinus yakin bahwa itulah suara Roh Kudus sehingga ia mengalami pertobatan. Ibunya sangat gembira dengan pertobatan anaknya itu. Dan Agustinus dibabtis oleh Uskup Ambrosius[2].
Sesudah pertobatan dan pembabtisannya, Agustinus memutuskan hubungannya dengan dunia. Harta miliknya dijualnya dan dibagi-bagikannya kepada orang-orang miskin. Ia ingin melayani Kristus sampai dengan ajalnya. Kemudia Agustinus bersama-sama anak dan ibunya bersiap-siap untuk kembali ke Afrika. Namun sangat disayangkan, ibunya meninggal dunia di kota pelabuhan,Ostia. Sementara menunggu kapal yang akan membawa mereka ke negrinya, Agustinus menguburkan ibu yang dikasihinya di Ostia. Sesuai dengan permintaan ibunya menjelang kematiannya, “Kuburkanlah aku dimana saja dan janganlah dirimu susah karenanya, hanya satu perkara aku mohon, yaitu doakanlah aku di Altar Allah di mana pun aku berada.[3]Agustinus bersama Adeodatus dan kedua temannya berangkat ke Tagaste.
Pada tahun 391 Agustinus berkunjung ke Hippo Regius. Umat di Hippo Regius meminta agar Agustinus dithabiskan menjadi presbiter untuk membantu Uskup Valerius yang sulit berkhotbah dalam bahasa Latin. Tahun 396 Uskup Valerius meninggal dan Agustinus dithabiskan sebagai Uskup Hipoo Regius pengganti Valerius. Cita-cita untuk hidup dengan damai dalam biara terpaksa ditinggalkannya. Ia menjadi Uskup Hippo Regius sampai dengan meninggalnya pada 28 Agustus 430, ketika suku bangsa Vandal mengepung kota Hippo Regius.

Situasi Kehidupan Pada Saat Itu

Lahirnya pandangan tentang dua Kerajaan tidak terlepas dari sejarah kerajaan romawi. Semuanya berawal dari penyerbuan kota Roma oleh orang-orang Goth pada tahun 410. Pada awalnya penguasa romawi telah melihat  adanya acaman dari pihak orang-orang Goth mulai dari abad ke dua. Namun demikian, orang-orang Goth masih diizinkan untuk tinggal di wilayah kekaisaran Romawi. Bahkan sebahagian dari mereka telah diangkat sebagai tentara Kerajaan Romawi dan dan juga ada yang menempati kedudukan tertinggi yang ada dalam pemerintahan dan kerajaan.
Pada tahun 378 orang-orang Goth mulai melakukan perlawanan terhadap Romawi, dan orang-orang Goth yang tinggal di pinggir kota Romawi dan orang-orang yang duduk dalam kekaisaran Romawi langsung bergabung dengan orang Goth lainnya dan menyerbu kota Roma. Dan kota Roma yang pada waktu itu berusia 800 tahun, berhasil direbut. Kejadian itu dianggap oleh orang Kristen sebagai akhir dari dunia ini[4].
Setelah kejatuhan kota Roma, banyak penduduk secara berduyun-duyun mengungsi kearah selatan, yakni dengan melalui daerah Italia dan Sicilia, menyebrangi laut utara sampai ke daerah Afrika Utara. Pada saat itu Vollusianus, yang menjabat sebagai gubernur muda di propinsi itu sedang meminta Katekisasi Baptisan dari gereja. sehubungan dengan situasi yang sedang terjadi pada saat itu, dia mengajukan beberapa pertanyaan. Pertanyaannya yang pertama yaitu: apakah benar adanya bagi orang Kristen untuk memberikan pipi yang lain, sedangkan pipinya yang satu lagi sudah di tampar orang lain(Matius 5:39)jika mereka bertanggung jawab atas keselamatan dan kedamaian dari propinsi yang dipimpinnya? Pertanyaan yang kedua, yaitu mengenai pemeliharaan Allah: mengapa Allah membiarkan hal itu terjadi bagi sebuah kota yang penduduknya sudah orang Kristen dan sudah dipimpin oleh orang Kristen?[5]
Dalam menjawab pertanyaan Vollusianu, Agustinus selaku Uskup Hippo menulis surat yang panjang. Surat itu kemudian menjadi ringkasan sebuah buku yang berjudul “De Civitate Dei”

1991         Pokok-pokok Pikiran Tentang Dua Kerajaan
Dalam ajannya, Agustinus menggunakan istilah kota Allah (gereja) dengan kota Dunia (negara). Namun ia tidak memisahkan keduanya bahwa dunia ini disatu pihak adalah jahat, dan gereja ada pada pihak yang baik. Ia mengatakan bahwa dunia mempunyai kebaikan sendiri, seperti hal memelihara kedamaian dan mengusahakan kemakmuran masyarakat.
Dipihak lain,  gereja juga masih berada dalam dunia ini, yang tidak dapat dikatakan bersih dari kejahatan.. Dua kota besar ini harus dibahas dalam hubungan dengan satu sama lain, sebab dia yang saat ini adalah dunia fana, warganegara dari kota Tuhan adalah juga warga negara dunia ini, dan sebagian dari warganegara dari  kota dunia ini adalah kepunyaan kota Tuhan juga[6]. Karena dengan mengutip perkataan Yesus “lalang masih berada di tengah-tengah gandum. Mat 13:25”. Karena menurut Agustinus, sepanjang usaha yang masih bersifat baik (memelihara keadilan dan perdamaian dunia), sebab tidak ada manusia yang tidak menginginkan kegembiraan. Maka tidak ada orang yang tidak menginginkan damai. Damai tidak hanya mengacu kepada damai yang tidak mengenal suatu batas umum. Semua komponen masyarakat, pemerintahan, adalah keluarga kota besar yang diarahkan pada suatu akhir umum, pengamanan dan memelihara damai. Oleh sebab itu, gereja harus mendukung negara, dengan cara memelihara dan mentaati hukum-hukumnya dan bekerja sama dalam pelayanan sosial. Tetapi dalam pelanggaran-pelanggaran yang melanggar kehendak Allah oleh penguasa dunia atau negara, seperti perlakuan kejam, ketidak-adilan dan kekerasan lainnya, gereja harus mengatakan “tidak” kepada penguasa dunia[7].
Kota-kota itu bukanlah dua negara yang bersaing, bukan pula dua organisasi, melainkan dua kelompok manusia. Mereka berbeda karena cinta yang berbeda: dua kota telah terbentuk atas dua cinta, kota duniawi akan cinta akan berdiri sendiri yang menuju pada penghinaan terhadap Allah, dan kota sorgawi yang dibentuk oleh kasih akan Allah yang menuju pada kepengabaian diri. Yang pertama mengagungkan diri, yang kedua mengagungkan Tuhan. Dikota yang satu para penguasa-penguasa yang ditaklukan didasari akan cinta dan kekuasaan. Di kota lain para penguasa dengan rakyatnya saling mengasihi, yakni rakyatnya mentaati dan para penguasa memelihara semua. Kedua kota ini adalah panguyuban manusia, yang satu ditakdirkan memerintah bersama Allah kekal selamanya, dan yang satunya lagi menderita bersama iblis selama-lamanya. Warga kota lahir dalam kota duniawi oleh alam yang sudah rusak oleh dosa, namun mereka lahir kedalam kota surgawi oleh kasih karunia yang memebebaskan alam dari dosa”[8].
Agustinus telah mengusulkan dalam keseluruhan isi buku keduanya kota besar mempunyai akhir yang berbeda. Oleh karena itu ia mengutip ayat Alkitab yang berbicara tentang akhir dari kota besar Tuhan yaitu hidup kekal "Tetapi setelah kamu dimemerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu pada kekudusan dan pada kesudahannya ialah hidup yang kekal” (Rom. 6:22). Agustinus merumusan akhir bahwa tentang kota besar Tuhan dapat disebut " Damai dalam hidup kekal" atau " hidup kekal secara damai[9].


IV. Implikasi Etis Pandangan Agustinus Tentang Dua Kerajaan
Secara teologis dapat dilihat bahwa Allah mengikut sertakan manusia untuk mempertahannkan keadilannya, dimana negara diberi kuasa untuk melindungi hidup manusia dan mencegah perbuatan jahat (Kej 9:5-6). Dalam Mazmur 75 juga terlihat bahwa kekuasaan dan kewibawaan pemerintah tidak diperoleh dengan sendirinya saja, tetapi diberikan oleh Allah.
Dengan demikian pemerintah harus bertanggungjawab kepada Allah yang memberikan kekuasaan kepadanya. Dalam Roma 13:1, mengatakan bahwa tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah (bnd. Yoh 19:11). Dengan demikian jelas bahwa kekuasaan yang ada pada pemerintah berasal dari Allah[10].
Gereja sebagai tubuh Kristus merupakan persekutuan orang percaya yang mengaku Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia. Dalam melaksanakan tugasnya Gereja berlandaskan dan berpusat pada Kristus. Kristus sebagai Kepala Gereja yang adalah tubuh-Nya sendiri, dipanggil untuk hidup, melayani dan bersaksi ditengah-tengah masyarakat dunia ini (Yoh 15:16). Gereja diberi mandat untuk menjadi garam dan terang (Mat 5:13-14). Gereja sebagai sebagai persekutuan orang-orang percaya, berada di tengah-tengah kegelapan (1 Ptr 2:9).
Gereja dan Negara adalah merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Allah. Dengan demikian keduanya harus tunduk kepada Allah. Gereja dan Negara menerima tugas dan panggilan dari Allah dan berfungsi di tengah-tengah masyarakat di dunia ini[11]. Menurut Karl Barth, Gereja dan Negara sama-sama berlandaskan “Kerajaan Kristus”, dimana negara juga diartikan sebagai  bahagian dari “tata anugerah”. Negara dan Gereja dilukiskan sebagai dua lingkungan yang konsentris, dan injil adalah sebagai pusat satu-satunya[12].
Dari pengertian di atas nyatalah bahwa Gereja dan Negara diciptakan Allah untuk memenuhi keinginan-Nya, dan keduanya harus tunduk kepada Allah dalam melaksanakan tugas dan panggilannya masing-masing.
Dalam rangka pemerintahan Allah akan dunia ini, maka Gereja dan Negara harus mempunyai rancangan demi kemuliaan Allah, dimana Gereja harus mengatur kegiatan ritus keagamaan, dan negara mengurus masalah politik. Gereja membawa orang-orang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan merubah manusia menjadi manusia baru. Negara merupakan lembaga yang sering mengalami problem untuk mempertahankan identitas yang tidak pernah kekal.

Kesimpulan
Masalah hubungan Gereja dan Negara, bukanlah suatu hal yang mudah dipecahkan, sebab tidak ada jalan keluar yang mudah untuk keluar dari dilema yang ada didalamnya. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bahwa pelayan Gereja dan Pemerintah merupakan sama-sama hamba Allah di dunia (lih. Mat 22:21; Rom 13). Oleh sebab itu Gereja dan Negara harus hidup saling berdampingan, saling menolong dan melengkapi.
Gereja dan Negara mempunyai persamaan dimana keduanya menerima tugas dan panggilan dari Allah serta berfungsi ditengah-tengah kehidupan manusia. Gereja harus memberikan partisipasinya dalam menjalankan pembangunan demi keutuhan Bangsa dan Negara dimana pemerintah harus menjamin kebebasan bagi gereja dalam melaksanakan tugas panggilannya di dunia ini.













Kepustakaan

Becker, Dieter
1992                                                                    Pedoman Dogmatika, (Jakarta:BPK-GM, 1991).
Bosch, David J.
1999                                  Transformasi Misi Kristen,  (Jakarta: BPK-GM).
End, Th. Van den
1995                                  Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK-GM).
Hauken, Allah
1991                                  Ensiklopedi Gereja, jilid I, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka).
Ladd, George Eldon              
1999                                  Teologi Perjanjian Baru, jilid. I, (Yayasan Kalam Hidup: Bandung).
Lane, Tony
1996                                  Runtut Pijar “Sejarah Pemikiran Kristiani”, (Jakarta: BPK-GM).
Sizoo, A
1975                                  Agustinus Hidupnya dan Karyanya, jilid I (Jakarta: BPK-GM).
Verkuly, J.
1992                                  Etika Kristen; Ras, Bangsa, Gereja dan Negara, (Jakarta: BPK-GM, 1992).
Wellem, F.D.                          
2003                                  Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM),
Wilken, Robert L
1997                                  The Two Cities Of God, Grand Rapitds, Michigan, Cambridge, U.K, 1997.


[1]  F.D. Wellem, MTh, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK-GM, 2003. hlm. 23
[2] A. Hauken, Ensiklopedi Gereja, jilid I, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka), 1991,  hlm. 62
[3] Dr. A. Sizoo, Agustinus Hidupnya dan Karyanya, jilid I (Jakarta: BPK-GM), 1975, hlm. 93
[4] Tony Lane, Runtut Pijar “Sejarah Pemikiran Kristiani”, (Jakarta: BPK-GM), 1996, hlm. 39
[5] Th. Van den End, Harta Dalam Bejana, Jakarta, BPK-GM, 1995, hlm. 82
[6] Robert L. Wilken, The Two Cities Of God, Grand Rapitds, Michigan, Cambridge, U.K, 1997, hlm. 28
[7] David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen,  (Jakarta: BPK-GM), 1999, hlm. 343
[8] Robert L. Wilken, Op. Cit, hlm. 33
[9] Robert L. Wilken, Op. Cit, hlm.40-41.
[10] George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru, jilid. I, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1999, hlm. 147
[11] J. Verkuly, Etika Kristen; Ras, Bangsa, Gereja dan Negara, (Jakarta: BPK-GM, 1992), hlm. 238.
[12] Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta:BPK-GM, 1991), hlm. 180